Pada tahun 1960-an, penyanyi folk Amerika, Pete Seeger, mengajukan pertanyaan pedih dalam balada anti-perangnya: “Ke Mana Perginya Semua Bunga?” Lagu itu menyuarakan kehilangan, janji-janji yang terlupakan, dan siklus tragis yang terus berulang. Hari ini, pertanyaan serupa dapat diajukan di Indonesia: Ke mana perginya semua kebijakan transisi energi?

Pada tahun 2021, Indonesia dengan berani berkomitmen untuk mencapai emisi nol bersih (net-zero emissions) pada tahun 2060—sebuah janji yang bertujuan untuk melawan perubahan iklim dan meningkatkan kualitas udara perkotaan. Untuk beberapa waktu, isu transisi energi mendominasi diskusi nasional. Namun belakangan ini, topik tersebut seolah menghilang dari agenda.

Janji yang Memudar di Panggung Politik

Dalam Pidato Kenegaraan pada 15 Agustus 2025, yang menandai 80 tahun kemerdekaan Indonesia, Presiden Prabowo Subianto berbicara panjang lebar tentang program makan siang gratis di sekolah, reforma agraria, dan restrukturisasi investasi negara. Namun, tidak ada satu pun penyebutan mengenai komitmen nol-emisi 2060. Meskipun prioritas-prioritas tersebut penting, mengesampingkan transisi energi adalah sebuah kesalahan krusial yang mengancam kesehatan, ekonomi, dan masa depan bangsa.

Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara dan bahan bakar fosil untuk pembangkit listrik dan transportasi. Ditambah dengan deforestasi dan degradasi hutan, negara ini kini termasuk dalam enam besar penghasil emisi karbon dunia. Tanpa peralihan cepat ke energi terbarukan, Indonesia berisiko mengingkari target iklimnya sendiri dan membahayakan upaya global untuk membatasi pemanasan global. Para ilmuwan telah memperingatkan bahwa kegagalan untuk bertindak dapat mendorong planet ini melewati ambang batas berbahaya.

Dampak Nyata: Udara Beracun dan Kesehatan yang Terancam

Ini bukan lagi tentang proyeksi masa depan yang jauh, tetapi tentang apa yang terjadi di sini dan saat ini. Pembakaran batu bara dan bensin melepaskan polutan beracun—seperti PM2.5, sulfur dioksida, dan nitrogen oksida—yang menyebabkan penyakit pernapasan, penyakit jantung, stroke, dan kematian dini. Di Jakarta, di mana kualitas udara termasuk yang terburuk di dunia, polusi diperkirakan telah memangkas harapan hidup penduduknya hingga 2,4 tahun, menurut data dari Universitas Chicago. Ribuan warga Indonesia, terutama anak-anak, menderita penyakit terkait polusi setiap tahunnya.

Temuan terbaru dari kolaborasi Universitas Chicago–ADBI–SMERU–ANU bahkan mengungkap realitas yang lebih suram. Antara Juni hingga Desember 2024, para peneliti memantau kualitas udara di dalam rumah-rumah di Jakarta. Batas aman PM2.5 yang ditetapkan oleh WHO adalah 5 µg/m³. Namun, tidak sedetik pun selama penelitian tersebut standar itu terpenuhi. Rata-rata tingkat polusi di luar ruangan mencapai 37,8 µg/m³, sementara di dalam ruangan justru lebih buruk, yaitu 40,7 µg/m³. Pada beberapa waktu, lonjakan di dalam ruangan bahkan melebihi 300 µg/m³ dan pernah mendekati 500 µg/m³—paparan yang setara dengan asap dari kebakaran hutan hebat, namun terjadi di dalam ruang keluarga.

Lalu, mengapa ada keheningan ini? Tentu, tantangannya nyata: proyek energi terbarukan membutuhkan pembiayaan besar, jaringan listrik perlu dimodernisasi, regulasi masih tumpang tindih, dan kepentingan industri bahan bakar fosil yang mengakar kuat menentang perubahan. Namun, tidak ada satu pun dari alasan tersebut yang dapat membenarkan kelambanan. Sebaliknya, semua itu menuntut respons yang lebih cepat dan cerdas.

Sementara Itu di Panggung Dunia: Inovasi AI Menerobos Sektor Angin Lepas Pantai

Di tengah kebuntuan politik di dalam negeri, dunia energi terbarukan tidak berhenti berputar. Inovasi terobosan justru sedang bertiup kencang di sektor energi hijau Inggris. Majalah Renewable Energy melaporkan kolaborasi yang tak terduga antara kecerdasan buatan (AI) dan tenaga angin berkat kemitraan baru antara dua pengembang ladang angin lepas pantai.

Kemitraan antara BlueFloat Energy dan Nadara menandai pertama kalinya sebuah pengembang angin lepas pantai menerapkan platform keselamatan dan penjaminan berbasis AI yang dikenal sebagai WindSafe. Platform digital yang diciptakan oleh perusahaan teknologi Fennex ini dirancang untuk mengatasi tantangan dalam mengelola lingkungan kerja di ladang angin lepas pantai yang kompleks. Dengan sistem berbasis cloud ini, tim dapat beralih dari proses reaktif ke manajemen risiko proaktif, memanfaatkan data dan intelijen waktu nyata (real-time).

Nassima Brown, Direktur di Fennex, menyatakan, “Kolaborasi ini menandai momen yang menentukan, tidak hanya bagi Fennex, tetapi juga bagi bagaimana sektor angin lepas pantai mendekati isu keselamatan di era digital.”

Meskipun pengembangan AI yang pesat menuai kontroversi, terutama terkait dampaknya pada jaringan listrik dan konsumsi air, perannya dalam WindSafe dapat memberikan kontribusi positif dengan membuat pertumbuhan energi angin lepas pantai menjadi lebih efisien.

Potensi Energi Angin: Lebih dari Sekadar Listrik Bersih

Energi angin, atau energi eolik, adalah sumber daya terbarukan dan tak akan habis yang menghasilkan listrik tanpa bahan bakar kotor atau polusi. Inovasi seperti WindSafe membuat pengembangannya semakin aman dan ekonomis.

Proyek-proyek skala besar terus bermunculan di seluruh dunia. Inggris sedang membangun ladang angin terbesar di dunia dengan 277 turbin yang akan memberi daya bagi lebih dari enam juta rumah. Sementara itu, Proyek Angin Lepas Pantai Hai Long di Taiwan telah mulai menyalurkan listrik ke jaringannya.

Investasi pada ladang angin lepas pantai juga menghemat lahan darat, sehingga melestarikan vegetasi asli dan habitat hewan. Selain itu, industri ini terbukti menciptakan lapangan kerja. Menurut Departemen Energi AS, industri angin telah menciptakan lebih dari 100.000 pekerjaan di Amerika hingga saat ini. Memiliki sumber energi lokal juga menciptakan stabilitas dan kemandirian energi yang lebih besar, terutama bagi masyarakat pedesaan.

Waktu yang Terus Berjalan dan Pilihan di Tangan Indonesia

Transisi energi Indonesia bukan hanya tentang iklim—ini tentang kesehatan, peluang ekonomi, dan pembangunan nasional. Ini adalah kesempatan untuk menghirup udara yang lebih bersih, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar impor, menciptakan industri baru, dan melindungi generasi mendatang. Menunda peralihan ini berarti mengunci lebih banyak polusi, lebih banyak penyakit, dan lebih sedikit pilihan untuk masa depan yang adil dan sejahtera.

Kabar baiknya: belum terlambat. Indonesia dapat menghidupkan kembali percakapan ini, membangun kebijakan yang lebih kuat, serta menjalin kemitraan dan infrastruktur yang dibutuhkan untuk maju. Namun, ini menuntut kepemimpinan sejati—dari pemerintah, dunia usaha, masyarakat sipil, dan rakyat biasa yang lelah dengan kepungan kabut asap dan janji-janji kosong.

Jika kita terus bertanya, “Ke mana perginya semua kebijakan transisi energi?” tanpa menuntut jawaban, kita berisiko bernasib sama seperti lagu Seeger—penuh nostalgia, penyesalan, dan terlambat. Namun, takdir tidak harus seperti itu. Kita masih punya pilihan. Kita masih punya waktu, meski tidak banyak. Dan kita masih punya kekuatan untuk mengubah keadaan.