Setelah mengalami penangguhan sementara, platform media sosial TikTok kini resmi beroperasi kembali di Indonesia. Insiden ini menyoroti ketegasan pemerintah terhadap platform digital asing sekaligus membuka kembali perdebatan global mengenai kekuatan algoritme dan dampaknya bagi pengguna.

Kronologi Pemblokiran dan Negosiasi

Pemblokiran yang terjadi merupakan puncak dari sengketa data antara TikTok dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pemerintah sebelumnya meminta data lengkap terkait aktivitas siaran langsung (livestreaming) yang berlangsung selama rangkaian aksi unjuk rasa pada akhir Agustus. Permintaan ini didasari oleh kekhawatiran bahwa platform tersebut dimanfaatkan untuk menyebarkan misinformasi serta memfasilitasi praktik judi online.

Pihak Kominfo mengklaim bahwa TikTok pada awalnya hanya memberikan data sebagian dengan alasan kebijakan privasi internal. Sikap ini berujung pada penangguhan status TikTok sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) resmi pada awal Oktober, yang secara efektif menghentikan operasinya di Indonesia.

Setelah melalui proses negosiasi selama beberapa hari, TikTok akhirnya bersedia menyerahkan seluruh data yang diminta oleh pemerintah. Juru bicara Kominfo mengonfirmasi bahwa TikTok telah “memenuhi kewajibannya” sesuai dengan regulasi platform digital yang berlaku di Indonesia, sehingga izin operasinya dipulihkan sepenuhnya.

Dampak bagi Kreator dan Penegasan Regulasi

Kembalinya TikTok menjadi angin segar bagi lebih dari 100 juta penggunanya di Indonesia, yang menjadikan negara ini sebagai salah satu pasar terbesar dan paling aktif secara global. Penangguhan singkat tersebut sempat mengganggu fitur siaran langsung dan monetisasi, memicu kekhawatiran di kalangan kreator lokal yang mengandalkan platform ini sebagai sumber pendapatan.

Di sisi lain, insiden ini menjadi penegasan sikap pemerintah Indonesia yang semakin asertif terhadap perusahaan teknologi asing. Pemerintah terus memperketat peraturan terkait transparansi data dan perdagangan digital, menuntut agar perusahaan seperti TikTok, YouTube, dan Meta mematuhi hukum domestik yang berlaku. Kasus ini juga memicu diskursus publik mengenai kebebasan berekspresi dan privasi data, di mana sebagian aktivis hak digital mengkritik langkah pemerintah sebagai tindakan berlebihan yang berisiko membatasi ruang gerak di dunia maya.

Kecanduan Algoritma: Sisi Lain Kekuatan TikTok

Di balik ketegasan pemerintah, terdapat kekhawatiran global mengenai dampak platform ini, terutama terkait algoritme yang dirancang untuk membuat pengguna terus kembali. Jon Freilich, seorang manajer operasional berusia 51 tahun di California, menggambarkan perilakunya di TikTok sebagai sebuah kecanduan.

“Saya tidak pernah merokok atau menggunakan narkoba, jadi saya tidak tahu seperti apa rasanya kecanduan zat kimia, tapi saya merasa kecanduan TikTok,” ujar Freilich, yang waktu tonton hariannya di aplikasi tersebut meningkat lebih dari 50 persen tahun lalu. “Ada kalanya saya tahu harus berhenti menggulir layar untuk bekerja atau tidur, tetapi sangat sulit untuk berhenti karena video menarik berikutnya mungkin hanya berjarak satu usapan jari.”

Inilah cara TikTok menjerat penggunanya: sebuah algoritme yang menyajikan aliran konten hiper-personalisasi tanpa henti. Namun, cara kerja sistem rekomendasi ini sangat masif dan misterius. TikTok dan perusahaan induknya, ByteDance, sangat sedikit berbagi informasi tentang bagaimana aplikasi tersebut membuat pengguna betah berlama-lama.

Studi Mengungkap Cara Kerja Algoritme

Untuk membongkar misteri ini, The Washington Post melakukan studi mendalam dengan mengumpulkan riwayat tontonan dari 1.100 pengguna. Dari basis data berisi sekitar 15 juta video yang ditonton selama periode enam bulan, analisis menunjukkan betapa efektifnya TikTok dalam mendorong pengguna, bahkan yang sudah sangat aktif sekalipun, untuk menonton lebih banyak.

Menurut dokumen internal TikTok yang terungkap dalam sebuah gugatan hukum, dibutuhkan hanya sekitar 260 video—atau durasi secepat 35 menit—untuk membentuk kebiasaan pada pengguna baru. Dalam studi tersebut, pengguna ringan yang pada awalnya menghabiskan rata-rata 32 menit sehari, mengalami lonjakan waktu tonton hingga 45 menit per hari hanya dalam waktu satu pekan—sebuah peningkatan lebih dari 40%. Sementara itu, para pengguna berat (power users) yang sudah menghabiskan rata-rata 4,5 jam sehari, waktu tontonnya hanya sedikit menurun menjadi 4,1 jam.

Dengan kembalinya TikTok di Indonesia, perusahaan ini kini menghadapi tantangan ganda: memastikan kepatuhan terhadap regulasi lokal yang ketat sambil mengatasi kekhawatiran publik yang lebih luas mengenai sifat adiktif platformnya. Diperkirakan TikTok akan memperkuat tim kebijakan dan kepatuhannya di Jakarta untuk mencegah gangguan serupa di masa depan.